Mechanical - Electrical Engineering

Hosting Unlimited Indonesia

Sabtu, 07 Desember 2013

Limbah Kelapa Sawit Untuk PLT Biomassa


Kelapa sawit selain menghasilkan produk utama berupa minyak goreng ternyata juga menghasilkan bahan bakar yang dinamakan Biodiesel dari Gas Methane, tentu saja  selain bahan bakunya yang melimpah energi ini dinilai sangat ramah lingkungan dan tentu saja ini sesuai dengan komitmen PLN untuk mewujudkan pembangkit dari energi baru terbarukan (EBT).

PLN berencana akan memanfaatkan limbah kelapa sawit sebagai sumber utama pembangkit tenaga listrik. Banyaknya perkebunan kelapa sawit tentu sangat menguntungkan dalam memberikan pasokan bahan baku limbah kelapa sawit yang sangat melimpah untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi ini.

Untuk mewujudkan rencana ini PLN telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan PT Atman Energy untuk rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLT Biomassa) berkapasitas 2 mega watt (MW) di kabupaten Sampit Kalimantan Tengah.

Jika PLT Biomassa ini beroperasi, maka potensi penghematan yang bisa diraih PLN dari pengurangan penggunaan Bahan Bakar Minyak adalah sekitar 34 miliar dengan asumsi harga produksi listrik menggunakan BBM adalah Rp 2.800/kWh. Sedangkan harga pembelian listrik swasta yang dihasilkan dari PLT Biomassa adalah Rp 1.170/kWh sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 4 tahun 2012. Rencana PLN untuk memanfaatkan limbah kelapa sawit sebagai sumber energi listrik ini segera dapat diwujudkan, mengingat potensinya cukup menjanjikan jika benar-benar diterapkan di Indonesia.

Produsen teknologi ternama Amerika, General Electric (GE) menggandeng Perusahaan Listrik Negara untuk mengembangkan program energi terbarukan Integrated Biomass Gasification di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Teknologi ini dapat mengubah serpihan kayu menjadi daya listrik sebesar 1 megawatt yang dapat menerangi 1.000 rumah.

Proyek ini merupakan proyek percontohan dan baru selesai 50 persen sejak dibangun tahun lalu, dan direncanakan selesai pada pertengahan tahun ini.  Energi listrik yang dihasilkan dapat membantu rumah-rumah atau perusahaan unit kecil menengah di Sumba. Teknologi GE yang dikembangkan oleh GE Global Research Center terbukti dapat mengolah gas sintetis dari bahan baku biomassa menjadi tenaga listrik.

Prosesnya, teknologi itu akan mengklasifikasi biomassa padat pada pohon untuk menghasilkan gas metan melalui pembakaran suhu tinggi tanpa oksigen.  Kemudian gas metan itu akan dikumpulkan untuk memutar mesin turbin GE yang akan menghasilkan energi listrik.  Kayunya menggunakan pohon lamtoro gung atau akasia yang memiliki kambium kuat tapi mudah tumbuh kembali. Proyek itu dapat menjadi percontohan pembangkit tenaga listrik di Sumba dan pulau-pulau lainnya dengan menggunakan serpih kayu sebagai bahan bakar.  

Pemanfaatan biomassa sebagai energi menggantikan bahan bakar fosil dapat mengatasi emisi gas rumah kaca sekaligus mendukung target pemerintah mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen pada 2020.

Sumber : Listrik Indonesia.com

ACTI 9 Teknologi Ramah Lingkungan


Schneider Electric sebagai salah satu industri electrical equipment terbesar di dunia, telah meluncurkan sebuah produk terbaru yang ramah lingkungan yaitu Acti 9. Sebuah inovasi terkini dalam sistem distribusi listrik modular tahap akhir yang terintegrasi lengkap yang memiliki berbagai fitur eksklusif seperti VisiTrip, VisiSafe dan Class 2 front Face. Dengan adanya Acti9, Schneider Electric semakin menunjukan kemampuannya sebagai perusahaan global yang memiliki spesialisasi dalam manajemen energi. Acara peluncuran Acti 9 dibuka oleh Riyanto Mashan selaku Country President Schneider Electric Indonesia. Presentasi produk dilakukan oleh Victor Caseiro, FD Business Development VP APAC dan dilanjutkan secara lebih detail oleh Adi Darmadi selaku Marketing Director Schneider Electric Indonesia.

Acti 9 hadir dengan 22 paten baru yang dilengkapi dengan kemudahan pemantauan dan pengontrolan energi pada rangkaian distribusi listrik akhir. Pada sistem generasi terdahulu, proses integrasi panel distribusi, pengendalian sistem jarak jauh dan pemasangan kabel, menjadi hal yang sulit dan menyita waktu bagi para system integrator, panel builder, hingga tim pemeliharaan yang bertugas memastikan sistem selalu beoperasi dengan lancar. Dengan Acti 9, integrasi panel distribusi akhir dengn sistem selalu beroperasi dengan lancar dengan sistem pengelolaan fasilitas gedung menjadi sangat mudah, termasuk solusi penghematan energi.

Menurut Rianto Mashan Country President Schneider Electric Indonesia, Schneider Electric memahami kebutuhan akan instalasi, kinerja dan pemeliharaan yang sederhana dan bebas gangguan. “Oleh karena itu kami merancang Acti 9 beserta sistem komunikasi Smartlink agar mudah digunakan, siap terhubung dan mudah diintegrasikan dengan arsitektur pengelolaan fasilitas gedung lainya”, ungkapnya.

Lebih jauh dia menyatakan, Acti 9 menggabungkan antara sistem kontrol dan sistem proteksi yang optimal, yang saat ini menjadi komponen yang penting dari solusi penghematan energi, bahkan di lingkungan tersulit-pun. Dengan sistem komunikasi dan proteksi yang inovatif, Acti 9 memudahkan integrasi antara panel distribusi akhir yang konvensional dengan fasilitas pengaturan sistem menggunakan modul Smartlink. Smartlink ini memudahkan pemasangan komponen Acti 9 ke fasilitas DIN rail tanpa kesalahan menggunakan sistem pengkabelan yang tersedia. Pada kenyataannya, lamanya waktu pemasangan kabel dapat dikurangi  hingga 40%. Smartlink menggunakan Modbus Communication yang menyesuaikan secara otomatis kepada parameter yang dimiliki pengguna, sehingga dapat disesuaikan dengan segala pengembangan sistem yang akan dilakukan di masa datang. Komponen kontrol lainnya seperti Reflex iC60 dan ARA iC60 dapat bekerja secara simultan dengan Smartlink, sehingga Acti 9 dapat menyesuailkan dengan kebutuhan yang dinamis dengan aplikasi efisiensi energi yang beragam.

Seluruh fitur-fitur yang terdapat dalam produk Acti 9 adalah penggabungan dari pengalaman Scheneider selama 40 tahun berkiprah di bidang kelistrikan. Produk Acti 9 berbahan dasar ramah lingkungan yang dapat didaur ulang. 


Sumber : Scheneider Electric Indonesia

Rabu, 04 Desember 2013

Pengembangan Geothermal 4.925 MW Membutuhkan US$ 15 Miliar


Pengembangan pembangkit listrik berbasis tenaga panas bumi dalam proyek 10.000 Megawatt (MW) tahap kedua ditargetkan bisa mencapai 4.925 MW, namun untuk merealisasikan target tersebut diperkirakan membutuhkan investasi lebih dari US$15miliar.

Guna memenuhi target tertinggi tersebut dibutuhkan dukungan internasional berupa pendanaan, tekhnologi, sumber daya manusia dan juga bantuan teknis, makanya tidak mengherankan jika saat ini bisnis pengembangan pembangkit listrik panas bumi di Indonesia dimana 95 persen dilakukan perusahaan asing.

 
Tahun ini pemerintah melakukan penawaran atau lelang tiga belas wilayah kerja (WKP) panas bumi dengan perkiraan memiliki cadangan yang dapat dikembangkan sebesar 1499 MW yaitu WKP Songa Wayaua (Maluku) kemudian Bonjol (Sumatera Barat), lalu Mataloko (NTT). Selain itu,  WKP Gunung Lawu yang terletak diantara Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian Candi Umbul Telomoyo (Jawa Tengah), Danau Ranau yang terletak di antara Sumatera Selatan dan Lampung, lalu Oka Ille Ange (NTT) dengan kapasitas 1x3 MW, WKP Suwawa (Gorontalo). WKP lain yaitu Marana (Sulawesi Tengah), Way Ratai (Lampung), Simbolon Samosir (Sumatera Utara), Sembalun (NTB) dan juga Gunung Endut (Banten).

Permasalahan pengembangan panas bumi terkait dengan resiko tinggi disisi pengembangan lapangan uap (resiko ketidakpastian keberhasilan pemboran untuk menghasilkan uap) dan kebutuhan pendanaan tinggi  (non-quick yielding, dengan income yang baru terealisasi setelah 5-6 tahun masa pra produksi). Tekhnikal dan kompetensi bisnis serta teknologi yang disertai kemampuan pendanaan menjadi tantangan bagi pengembang untuk mewujudkan potensi pemanfaatan energi panas bumi untuk tumpuan energi masa depan selama jaminan iklim investasi pengembangan panas bumi kondusif.

Selain itu pengembangan panas bumi juga membuka peluang akses daerah dan juga berpotensi meningkatkan perekonomian daerah dan membuka lapangan kerja pemberdayaan serta kemandirian energi. Jika pemerintah ingin target 9500 MW energi listrik terbangkitkan dari energi panas bumi pada tahun 2020 maka hendaknya mulai saat ini seluruh faktor resiko bisa diminimalkan dan seluruh wilayah kerja potensial dimulai pengembangannya paling lambat tahun ini.

Sumber : EBTKE